Hingar bingar melesatnya harga kelapa sawit belakangan ini ternyata tidak ikut dinikmati buruh yang bekerja di perkebunan. Alih-alih menjadi kaya, mereka masih terperangkap dalam modus kerja buruh lepas yang minim jaminan keselamatan dan ketenagakerjaan.
SNOL, JAKARTA – Amarah
Murliana meluap saat manajemen PT BMP Hartono Plantations Indonesia (HPI Agro)
batal memberi pesangon sebesar Rp41,5 juta kepada dirinya.
Murliana sudah
menempuh sembilan kali mediasi sejak dipecat dari perkebunan sawit milik Grup
Djarum itu pada pertengahan tahun lalu.
Adapun, nilai
pesangon itu hasil perhitungan Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu
Pintu dan Tenaga Kerja Kabupaten Landak setelah mengidentifikasi masa kerja
Murliana selama lima tahun delapan bulan di perusahaan perkebunan sawit itu.
Kendati demikian,
perusahaan sempat melaporkan masa kerja Murliana hanya dua tahun.
Menurut Murliana,
anak usaha Grup Djarum itu enggan membayar pesangon lantaran status kerja yang
dimilikinya berupa buruh harian lepas atau BHL.
Status kerja itu
kerap dijumpai di sebagian besar sentra perkebunan sawit yang terbentang dari
Sumatera hingga Kalimantan.
Belakangan, model
kerja itu digunakan perusahaan untuk merekrut pekerja dengan ongkos dan
investasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3 yang relatif murah.
“Nominal pesangonnya
sudah disanggupi, saya datang mediasi tiba-tiba ditolak mentah-mentah sama
HRD-nya, sepeser pun tidak ada, saya emosi. Alasannya, karena saya buruh harian
lepas,” kata Murliana selepas mediasi pekan lalu, dilansir
Bahkan, Murliana yang
juga tergabung dalam serikat buruh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (KSBSI) Landak melaporkan perusahaan itu karena turut memutus kerja
100 buruh lain.
Alasannya karena jumlah pekerja yang sudah melebihi kapasitas produksi. “Kita ada 100 orang lebih yang di-PHK tanpa sepotong surat, tanpa hak bahkan di situ mereka ada yang sudah bekerja dari 2009 saat perusahaan itu berdiri, alasannya karena buruh harian lepas kebanyakan tidak ada kontrak,” kata dia. (*)